Jumat, 04 Januari 2013

Posted by Unknown On 1/04/2013 01:43:00 AM


   Sebuah ketakutan masyarakat global mulai terjadi dalam periode yang sangat lama ketika identitas kebangsaan mulai tergerus oleh eksistensi kebudayaan asing dalam negerinya sendiri. Fenomena yang unik dan sangat menarik. Peperangan abad 21 sekarang tidak lagi bergerak pada sebuah aktivitas fisik antar negara. Perlombaan senjata dan peperangan langsung tidak lagi menjadi jaminan untuk memenangkan sebuah kejayaan besar. Kebudayaan (culture)menjadi instrumen paling mutakhir dalam abad 21 ketika senjata tak lagi berdengung di telinga masyarakat dunia. Keberadaan culture sebagai perangkat diplomasi dalam ruang lingkup hubungan internasional telah menjadi sebuah pembuktian baru yang bergelak perlahan tapi pasti. Adapun diplomasi kebudayaan, tulis Joseph S Nye Jr dalam buku Soft Power: the Means to Success in World Politics, merupakan perangkat untuk menebar kekuatan lunak atau soft power. Berbeda dengan hard poweryang menggunakan paksaan dalam bentuk militer atau kekuatan ekonomi, soft power menciptakan kesepahaman dan pengertian akan nilai-nilai suatu negara. Culture  telah menyediakan hidangan yang luar biasa kepada masyarakat Global ketika orang mulai merasakan kejenuhan dalam pergaulan internasional yang cenderung statis. Korea Selatan menjadi negara yang memiliki andil besar dalam proses penjamuan hidangan besar dalam hiruk pikuk permasalahan global yang sifatnya high-politics. Bergeraknya Korsel sebagai penyaji hiburan masyarakat global tentu saja telah mengundang kepedulian dan respect yang luar biasa bagi para penikmatnya yang tersebar di hampir seluruh negara di dunia. Diplomasi kebudayaan dianggap sukses, pertarungan eksistensi yang dipandang orang-orang realis yang cenderung menggunakan hard-power tidak menjadi jaminan. Kekuatan besar sedang dibangun untuk membangun koalisi besar bersama pecinta kebudayaan Korea Selatan. Proses transformasi budaya berjalan secara pasti oleh karena keberhasilan diplomasi kebudayaan, yang menurut Milton C. Cummings, seorang pengamat dari Institute for Cultural Diplomacy adalah:
“The exchange of ideas, information, values, systems, traditions, beliefs, and other aspects of culture, with the intention of fostering mutual understanding”
    Budaya adalah salah satu bentuk diplomasi yang berguna untuk membangun saling kesepahaman dengan negara asing. Di dalamnya sedang berlangsung berbagai macam aktivitas baik itu pertukaran ide, informasi, nilai, tradisi, kepercayaan,  dan aspek budaya-budaya lainnya, yang bertujuan untuk meningkatkan rasa saling mengerti satu sama lain.

  Inilah menjadi pertanyaan besar, apa sebenarnya yang membuat Korea Selatan bisa melakukan transendensi kebudayaan dengan begitu pesatnya dalam dunia global? Proses pelampauan yang sangat cepat dan baik sedang berlangsung dengan skenario besar yang teratur.
     Sebelum membahas tentang kebudayaan Korea Selatan lebih jauh, sebaiknya kita melirik terlebih dahulu makna kata Transendensi. Transendensi yang digunakan bukanlah sebagai sebuah makna terminologis filsafat yang lebih mengarah pada konsep teologi dan spiritualitas ataupun bersifat ketuhanan, namun lebih pada makna etimologi yang dalam bahsa latinnya berarti ‘naik ke atas’ atau bisa dikatakan melampaui, pelampauan.
    Perbincangan mengenai Korea pada zaman sekarang pasti akan mengarah pada satu sudut pandang yakni, Hallyu atau Korean Wave. Hallyu atau Korean Wave merupakan sebuah penamaan dari kebudayaan Korea yang berkembang pada beberapa dekade terakhir ini. Hallyu mulai digemari oleh penduduk Asia mulai sekitaran tahun 1990an terutama di China, Jepang dan beberapa kawasan Asia Tenggara. Berawal dari industri hiburan yakni K-Pop dan K-Drama yang mengawali era kebudayaan Korea di kancah internasional. Jika mengacu pada definisi M. Cummings tadi maka kemudian suksesi Korea dalam industri hiburan turut mengikutsertakan nilai, pola hidup, kehidupan sosial, sistem dan tradisi serta kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Korea mulai dinikmati oleh masyarakat global. Proses inilah yang disebut sebagai koreanization. Bahkan hal ini juga turut membawa dampak positif bagi industri fashion, teknologi, maupun otomotif di Korea Selatan. Tingginya permintaan atas barang-barang elektronik buatan Korea di beberapa negara di dunia menjadi pembuktian atas skenario besar yang dirancang untuk menguasai peradaban manusia.
    Kebanggaan dan kepercayaan diri yang tinggi telah mengangkat derajat negara Korea dari sebuah kungkungan masa lalu yang memaksa mereka menyerah pada Cina dan Jepang. Hasrat ingin menjadi sebuah kekuatan baru di Asia dengan sedikit terinsipirasi dari Confusianisme China dan sedikit mengabaikan sensasionalisme Barat telah mendegradasi dominasi yang cenderung keras oleh dunia barat. Dengan kemasan yang lebih menarik dan indah, distorsi kebudayaan menjadikan Hallyu menjadi sesuatu yang mudah untuk diterima dan diserap. Tidak dapat dinafikan budaya Pop Korea adalah sebuah proyek globalisasi yang berusaha membangun citra positif Korea Selatan di mata Internasional sehingga menimbulkan ketertarikan dan keingintahuan lebih lanjut untuk mempelajari tentang kebudayaan Korea Selatan lebih dalam. Pencitraan memang menjadi faktor penentu suatu negara untuk mendapatkan kerpcayaan dunia internasional. Adapun pengertian pencitraan menurut Aleksius Jemadu adalah:
Upaya suatu bangsa untuk mendefinisikan dirinya baik kepada rakyatnya sendiri maupun dalam pergaulan internasional dengan menonjolkan keunggulan nilai-nilai budaya yang dimilikinya dengan tujuan untuk menciptakan pengaruh internasional yang sangat diperlukan untuk pencapaian tujuan politik luar negeri dan diplomasi secara umum.

The Rising of New Cultural Capitalism in Asia
    There is No Power without Power, Tidak akan ada sebuah kekuasaan tanpa kekuatan dibaliknya. Berdasarkan data Bank of Korea pada 2011, nilai ekspor hallyu mencapai US$794 juta. Tentu saja ada peran dan turut campur tangan negara di dalamnya sebagai aktor penentu kebijakan. Dalam diplomasi kebudayaan akan selalu ada peran negara dalam suksesi ekspansi kebudayaan negara tersebut, hal ini yang kemudian tertulis jelas dalam pengertian diplomasi kebudayaan menurut Prof. Tulus Warsito, guru besar studi hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Usaha suatu negara untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya, melalui dimensi kebudayaan, baik itu secara mikro, seperti pendidikan, olahraga, ilmu pengetahuan dan juga kesenian, ataupun secara makro seperti propaganda, dan lain-lain, yang dalam pengertian konvensional dapat dianggap sebagai bukan politik, ekonomi ataupun militer.
    Jalan Korea Selatan untuk memasuki dan menguasai peradaban manusia melalui diplomasi kebudayaan didukung sepenuhnya oleh berbagai elemen masyarakat Korea Selatan sebagai pembuktian diri. Jika pada akhirnya akan melibatkan aktor non-negara dalam proses diplomasi maka bisa disimpulkan bahwa proyek globalisasi ini cenderung bersifat multi-track diplomacy, adalah diplomasi multipelaku, yaitu dengan banyak cara dan jalur, tidak hanya mengandalkan aktor negara (Pemerintah) secara langsung akan tetapi dapat pula dilakukan oleh aktor non-negara, seperti pelaku bisnis industri musik K-pop hingga keterlibatan para selebritis ataupun masyarakat secara umum serta media dalam menjalankan soft diplomacy melalui K-pop di berbagai negara. Memang tidak bisa dipungkiri, hadirnya industri-industri besar di balik panggung kesuksesan Korsel menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Berbagai macam dukungan pemerintah mengenai keberhasilan ini dilakukan berbagai macam baik itu investasi besar-besaran dalam industri hiburan, promosi, maupun kebijakan pemerintah yang pro industrialisasi kebudayaan.
    Berdasarkan “Cultural Industry White Paper 2003” yang diterbitkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Korea Selatan, ukuran pasar industri budaya Korea diperkirakan sekitar $ 350 miliar, yang merupakan 6,6% dari GDP Korea. Jumlah orang yang diharapkan untuk terlibat dalam industri budaya di Korea ini berkembang pesat dan diperkirakan akan mencapai 200.000 orang pada tahun 2008, pada saat yang bersamaan diharapkan nilai barang yang diekspor budaya akan mencapai satu miliar dolar AS. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Lee Chang-dong, menyatakan bahwa Korea harus terlebih dahulu membangun infrastruktur budaya yang lebih kuat untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari $ 1,4 Triliun di industri budaya global. Federasi Industri Korea juga menekankan perlunya bagi para pengusaha untuk terlibat dalam proyek bisnis kebudayaan tersebut.
    Bahkan Norimitsu Onishi, seorang koresponden New York Times melaporkan bahwa sekitar 80 persen dari wisatawan Taiwan ke Korea Selatan memilih televisi bertema wisata, mengunjungi tempat-tempat di mana drama favorit mereka difilmkan (New York Times, 28 Juni 2005).
Pada tanggal 9 Mei 2012 langkah bijak dilakukan pemerintah Korsel dalam memperbaiki sistem industri hiburan dalam negerinya dengan keturutsertaan pemerintah melalui Kementrian budaya, Olahraga dan Pariwisata Korea Selatan dalam kasus agensi entertainment palsu yang muncul, menipu para pemuda/i yang bermaksud mewujudkan mimpi mereka. Kementrian akan bekerja sama dengan Asosiasi Managemen Entertainment Korea untuk membuat sebuah databse yang berisikan informasi dasar agensi-agensi seperti jumlah staf dan public figure yang mereka kelola. Agensi-agensi harus memasukkan bukti yang membuktikan bahwa mereka memiliki aset yang cocok untuk menjalankan bisnis ini bersama dengan sebuah gedung kantor yang didaftarkan atas nama mereka.
    Berdasarkan Laporan penelitian dari Samsung Economic Research Institute (2005) mengenai dampak ekonomi dari Korean Wave yang berjudul "The Korean Wave Sweeps the Globe," mengklasifikasikan laporan negara-negara yang mengimpor budaya pop Korea menjadi empat tahap, dalam hal pola mereka mengkonsumsi produk budaya Korea. Tahap pertama adalah hanya menikmati budaya pop Korea, dan ini diterapkan di Mesir, Meksiko dan Rusia. Tahap kedua melibatkan membeli produk-produk terkait yang berkaitan dengan K-Pop dan K-Drama seperti poster, items-character, dan wisata yang pada umumnya terjadi di Jepang, Taiwan, dan Hong Kong. Tahap ketiga adalah tahap konsumsi segala produk "Made in Korea" yakni China dan Vietnam. Tahap akhir mencerminkan perkembangan preferensi umum untuk budaya Korea itu sendiri. Menurut laporan itu, tidak ada negara-negara yang termasuk dalam kategori ini. Laporan ini mendesak pengembangan tinggi "konten" kualitas dengan lebih memperhatikan "strategi pemasaran," seperti "pengembangan konten."
    Bisa kita bayangkan Jika Korean Wave terus melonjak maka akan mencerminkan hubungan diplomatik yang mendukung logika kapitalis daripada penguatan kekuatan komunikatif masyarakat sipil untuk memberikan kemungkinan diversifikasi selera budaya massa. Hal ini tentu saja menjadi sebuah perlawanan keras terhadap etnosentrisme China dan nasionalisme Jepang yang selalu menjadi poros terdepan kemajuan Asia Timur. Saat ini, sulit untuk menggambarkan kritik keras terhadap Korean Wave, yang digembar-gemborkan sebagai “The Beat of Victory”. Korean Wave bukan hanya sebuah fenomena domestik saja namun telah menjadi the phenomenon of capitalism’s rise in Asia yang mengancam industri negara-negara tetangganya seperti China dan Jepang.

Korean Wave and Korean War.
    Jika berbicara lebih lanjut mengenai Korea secara historis, maka kita akan dihadapkan pada suatu proses romantisme menarik yang saat ini masih menjadi sengketa dan problematika Internasional yakni Korean War. Perang fisik di teluk Korea berlangsung cukup lama sejak dari 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953, yang hingga kini sengketa kedua negara masih berlanjut namun belum mengarah pada pertempuran fisik lagi. Jika dijelaskan tentang periode perang yang berlansung akan membutuhkan banyak abjad untuk bercerita baik itu mengenai pertempuran Incheon, Proxy War, Pertempuran Chosin, dan seterusnya. Kita hanya menarik satu sudut pandang menarik yang coba dijabarkan mengenai korelasi antara Korean War dan Korean Wave. Akan ada beberapa penjabaran yang cukup menarik tentang sebuah implikasi perkembangan Korean Wave terhadap Korean War.

1. Global mass is a great weapon
    Korean Wave sebagai sebuah proses yang lahir dari konsep diplomasi kebudayaan tidak hanya mendatangkan banyak materi. Korean Wave menjadi sebuah pertunjukkan teatrikal menarik saat di panggung dunia, industrialisasi kebudayaan yang berujung pada konsep kapitalisme budaya menjadikannya sebagai global mass consumption. Masyarakat dunia akan lebih memfokuskan diri pada perkembangan K-Pop. Bagaimana tidak, tokoh atau artis yang mengidolakan seakan telah menjadikan mereka budak ketika di hadapkan pada pusara industri hiburan. Simpati dan kepedulian berdatangan secara massal saat fanatisme menjadi sebuah dogma yang menggerakkan pola kehidupan masyarakat global. Tidak dipungkiri bahwa fanatisme yang cenderung hiperbolik inilah yang nantinya menjadi kekuatan terbesar Korea Selatan menghadapi kemungkinan yang terjadi dengan Korea Utara. Aliansi massa global yang terbentuk atas dasar fanatisme yang sama menjadi kekuatan terbesar. Jika saja Perang Korea kembali terjadi, maka akan terjadi gejolak di beberapa negara yang masyarakatnya kebanyakan sangat mengidolakan artis-artis Korsel. Adanya wajib militer yang diharuskan pemerintah Korsel terhadap laki-laki mewajibkan setiap orang termasuk artis dalam pertempuran yang terjadi nanti. Demonstrasi bisa saja terjadi di beberapa negara yang dilakukan oleh para fans. Kekuatan massa tentu saja bisa mengubah kebijakan negara hingga bahkan mengeluarkan keputusan untuk membantu Korsel dalam perang. Bisa dikatakan kekuatan para fans budaya Korea Selatan menjadi aset penting dalam proses pengambilan arah kebijakan suatu negara. Jika sudah pada titik fanatisme yang sangat tinggi, simpati bergerak sangat cepat, mereka tidak ingin kehilangan sebuah genre hiburan yang membuat mereka lebih baik dan nyaman.
2. The Circle of Capitalism, merebut simpati Cina.
     Lingkaran kapitalisme akan selalu terjaga sebagai sebuah keutuhan untuk bisa saling menguntungkan. Jika ada satu bagian yang hilang, maka lingkaran itu akan berubah dan berdampak buruk bagi yang lainnya. Korea Selatan yang telah menjadi negara demokrasi telah melangsungkan aktivitas kapitalisme besar dalam hal kebudayaan, teknologi maupun otomotif. Kita melihat negarqa-negara yang menitikberatkan pada kapitalisme pasar seperti Cina, Jepang dan Amerika Serikat tentu saja tidak ingin kehilangan kesempatan dalam memperoleh keuntungan. Cina yang secara ideologi lebih condong kepada Komunis yang juga dianut oleh Korea Utara masih mempertahankan sistem nilai tersebut dalam proses bermasyarakat, namun di sisi lain Cina pun mengamini kapitalisme dan liberalisme pasar menjadi jalan terbaik untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri. Orang akan berpikir bahwa kepentingan China di Korea Utara cukup besar, namun kita tidak bisa mengabaikan seberapa kuatnya hubungan China dengan Korea Selatan. Korean Wave memang telah tersebar di hampir seluruh kawasan Asia namun kesuksesan terbesarnya ada di negara Cina. Cina dianggap sebagai negara paling sukses untuk proses persebaran Korean Wave. Menurut sebuah artikel di media massa Korea menyebutkan bahwa Orang Cina merasa lebih dekat budaya Korea berkat budaya pop korea gaya K-Pop nya,  meskipun jika mereka belum pernah ke negara. Selain itu, artikel lain mengatakan bahwa Republik Korea (ROK) dan Cina telah mempererat hubungan kerjasama mereka di bidang politik, ekonomi, budaya dan pendidikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut statistik resmi yang dipublikasikan ROK pada akhir tahun lalu, Cina menjadi peringkat nomor satu dalam perdagangan tahunan negeri Korea. ROK juga menjadi mitra dagang eksklusif terbesar ketiga China. Kerjasama politik dan ekonomi telah menyebabkan pertukaran warga dan lalu lintas wisata antara kedua negara. Perkembangan Korean Wave di Cina meerupakan pertanda akan masa depan yang cerah bagi hubungan bilateral Cina dan Korea. Karena permintaan yang luar biasa dari budaya pop Korea di Cina, Korea berhasil memasuki pangsa pasar yang besar.
    Cina yang dianggap sebagai tameng terkuat bagi Korea Utara belum menjamin adanya bantuan untuk Korut jika perang berlangsung. Negara sebagai Rational Actor akan cenderung berhati-hati dalam mengambil keputusan. Rational choice menjadi sebuah pertimbangan dan mungkin saja akan mengubah segala kemungkinan yang seharusnya terjadi.

Pustaka:
http://mediaindonesia.com/webtorial/tanahair/?bar_id=MzA2Nzkx
http://dwialatief.blogspot.com/2012/03/hallyu-korea-sebagai-diplomasi.html
http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/08/diplomasi-budaya-dalam-menciptakan-perdamaian-dunia/
http://kpopfreak.com/2012/10/news/pemerintah-korea-ikut-campur-tangan-untuk-mencegah-para-agensi-entertainment-dalam-menipu-para-trainee-nya
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2184313-pengertian-transendensi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Korea#Akhir_perang
Joseph Nye, 2005, Soft Power: the Means to Success in World Politics cetak indonesia, United States : PublicAffairs
Tulus warsito dan Wahyuni Kartikasari, 2007, Diplomasi Kebudayaan Konsep dan Relevansi Bagi Negara Berkembang; Sudi Kasus Indonesia, Yogyakarta: Ombak
Cho Hae Jong, Reading the “Korean Wave” as a Sign of Global Shift
Sue Jin Lee, The Korean Wave: The Seoul of Asia

0 komentar:

Posting Komentar