Oleh : Alfian Putra Pikoli
Sebuah ketakutan masyarakat global mulai
terjadi dalam periode yang sangat lama ketika identitas kebangsaan mulai
tergerus oleh eksistensi kebudayaan asing dalam negerinya sendiri. Fenomena
yang unik dan sangat menarik. Peperangan abad 21 sekarang tidak lagi bergerak
pada sebuah aktivitas fisik antar negara. Perlombaan senjata dan peperangan
langsung tidak lagi menjadi jaminan untuk memenangkan sebuah kejayaan besar.
Kebudayaan (culture)menjadi instrumen
paling mutakhir dalam abad 21 ketika senjata tak lagi berdengung di telinga
masyarakat dunia. Keberadaan culture sebagai
perangkat diplomasi dalam ruang lingkup hubungan internasional telah menjadi
sebuah pembuktian baru yang bergelak perlahan tapi pasti. Adapun diplomasi
kebudayaan, tulis Joseph S Nye Jr dalam buku Soft Power: the Means to
Success in World Politics, merupakan perangkat untuk menebar kekuatan lunak
atau soft power. Berbeda dengan hard poweryang
menggunakan paksaan dalam bentuk militer atau kekuatan ekonomi, soft
power menciptakan kesepahaman dan pengertian akan nilai-nilai suatu
negara. Culture telah menyediakan hidangan yang luar biasa
kepada masyarakat Global ketika orang mulai merasakan kejenuhan dalam pergaulan
internasional yang cenderung statis. Korea Selatan menjadi negara yang memiliki
andil besar dalam proses penjamuan hidangan besar dalam hiruk pikuk
permasalahan global yang sifatnya high-politics.
Bergeraknya Korsel sebagai penyaji hiburan masyarakat global tentu saja telah
mengundang kepedulian dan respect yang
luar biasa bagi para penikmatnya yang tersebar di hampir seluruh negara di
dunia. Diplomasi kebudayaan dianggap sukses, pertarungan eksistensi yang
dipandang orang-orang realis yang cenderung menggunakan hard-power tidak menjadi jaminan. Kekuatan besar sedang dibangun
untuk membangun koalisi besar bersama pecinta kebudayaan Korea Selatan. Proses
transformasi budaya berjalan secara pasti oleh karena keberhasilan diplomasi
kebudayaan, yang menurut Milton C. Cummings, seorang pengamat dari Institute
for Cultural Diplomacy adalah:
“The exchange of
ideas, information, values, systems, traditions, beliefs, and other aspects of
culture, with the intention of fostering mutual understanding”
Budaya adalah salah satu bentuk diplomasi yang
berguna untuk membangun saling kesepahaman dengan negara asing. Di dalamnya
sedang berlangsung berbagai macam aktivitas baik itu pertukaran ide, informasi,
nilai, tradisi, kepercayaan, dan aspek budaya-budaya lainnya, yang
bertujuan untuk meningkatkan rasa saling mengerti satu sama lain.
Inilah menjadi pertanyaan besar, apa
sebenarnya yang membuat Korea Selatan bisa melakukan transendensi kebudayaan dengan
begitu pesatnya dalam dunia global? Proses pelampauan yang sangat cepat dan
baik sedang berlangsung dengan skenario besar yang teratur.
Sebelum membahas tentang kebudayaan Korea
Selatan lebih jauh, sebaiknya kita melirik terlebih dahulu makna kata
Transendensi. Transendensi yang digunakan bukanlah sebagai sebuah makna
terminologis filsafat yang lebih mengarah pada konsep teologi dan spiritualitas
ataupun bersifat ketuhanan, namun lebih pada makna etimologi yang dalam bahsa
latinnya berarti ‘naik ke atas’ atau bisa dikatakan melampaui, pelampauan.
Perbincangan mengenai Korea pada zaman
sekarang pasti akan mengarah pada satu sudut pandang yakni, Hallyu atau Korean Wave. Hallyu atau Korean Wave merupakan sebuah penamaan
dari kebudayaan Korea yang berkembang pada beberapa dekade terakhir ini. Hallyu
mulai digemari oleh penduduk Asia mulai sekitaran tahun 1990an terutama di
China, Jepang dan beberapa kawasan Asia Tenggara. Berawal dari industri hiburan
yakni K-Pop dan K-Drama yang mengawali era kebudayaan Korea di kancah
internasional. Jika mengacu pada definisi M. Cummings tadi maka kemudian
suksesi Korea dalam industri hiburan turut mengikutsertakan nilai, pola hidup,
kehidupan sosial, sistem dan tradisi serta kepercayaan yang dianut oleh
orang-orang Korea mulai dinikmati oleh masyarakat global. Proses inilah yang
disebut sebagai koreanization. Bahkan
hal ini juga turut membawa dampak positif bagi industri fashion, teknologi,
maupun otomotif di Korea Selatan. Tingginya permintaan atas barang-barang
elektronik buatan Korea di beberapa negara di dunia menjadi pembuktian atas
skenario besar yang dirancang untuk menguasai peradaban manusia.
Kebanggaan dan kepercayaan diri yang tinggi
telah mengangkat derajat negara Korea dari sebuah kungkungan masa lalu yang
memaksa mereka menyerah pada Cina dan Jepang. Hasrat ingin menjadi sebuah
kekuatan baru di Asia dengan sedikit terinsipirasi dari Confusianisme China dan
sedikit mengabaikan sensasionalisme Barat telah mendegradasi dominasi yang
cenderung keras oleh dunia barat. Dengan kemasan yang lebih menarik dan indah,
distorsi kebudayaan menjadikan Hallyu menjadi sesuatu yang mudah untuk diterima
dan diserap. Tidak dapat dinafikan budaya Pop Korea adalah sebuah proyek
globalisasi yang berusaha membangun citra positif Korea Selatan di mata
Internasional sehingga menimbulkan ketertarikan dan keingintahuan lebih lanjut
untuk mempelajari tentang kebudayaan Korea Selatan lebih dalam. Pencitraan
memang menjadi faktor penentu suatu negara untuk mendapatkan kerpcayaan dunia
internasional. Adapun pengertian
pencitraan menurut Aleksius Jemadu adalah:
Upaya suatu bangsa untuk mendefinisikan dirinya
baik kepada rakyatnya sendiri maupun dalam pergaulan internasional dengan
menonjolkan keunggulan nilai-nilai budaya yang dimilikinya dengan tujuan untuk
menciptakan pengaruh internasional yang sangat diperlukan untuk pencapaian
tujuan politik luar negeri dan diplomasi secara umum.
The
Rising of New Cultural Capitalism in Asia
There is
No Power without Power, Tidak akan ada sebuah
kekuasaan tanpa kekuatan dibaliknya. Berdasarkan data Bank of Korea pada 2011,
nilai ekspor hallyu mencapai US$794 juta. Tentu saja ada
peran dan turut campur tangan negara di dalamnya sebagai aktor penentu
kebijakan. Dalam diplomasi kebudayaan akan selalu ada peran negara dalam
suksesi ekspansi kebudayaan negara tersebut, hal ini yang kemudian tertulis
jelas dalam pengertian diplomasi kebudayaan menurut Prof. Tulus Warsito, guru
besar studi hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Usaha suatu negara untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya,
melalui dimensi kebudayaan, baik itu secara mikro, seperti pendidikan,
olahraga, ilmu pengetahuan dan juga kesenian, ataupun secara makro seperti
propaganda, dan lain-lain, yang dalam pengertian konvensional dapat dianggap
sebagai bukan politik, ekonomi ataupun militer.
Jalan Korea Selatan untuk memasuki dan
menguasai peradaban manusia melalui diplomasi kebudayaan didukung sepenuhnya
oleh berbagai elemen masyarakat Korea Selatan sebagai pembuktian diri. Jika
pada akhirnya akan melibatkan aktor non-negara dalam proses diplomasi maka bisa
disimpulkan bahwa proyek globalisasi ini cenderung bersifat multi-track diplomacy, adalah diplomasi
multipelaku, yaitu dengan banyak cara dan jalur, tidak hanya mengandalkan aktor
negara (Pemerintah) secara langsung akan tetapi dapat pula dilakukan oleh aktor
non-negara, seperti pelaku bisnis industri musik K-pop hingga keterlibatan para
selebritis ataupun masyarakat secara umum serta media dalam menjalankan soft
diplomacy melalui K-pop di berbagai negara. Memang tidak bisa dipungkiri,
hadirnya industri-industri besar di balik panggung kesuksesan Korsel menjadi
perpanjangan tangan pemerintah. Berbagai macam dukungan pemerintah mengenai
keberhasilan ini dilakukan berbagai macam baik itu investasi besar-besaran
dalam industri hiburan, promosi, maupun kebijakan pemerintah yang pro
industrialisasi kebudayaan.
Berdasarkan “Cultural Industry White Paper
2003” yang diterbitkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Korea Selatan,
ukuran pasar industri budaya Korea diperkirakan sekitar $ 350 miliar, yang
merupakan 6,6% dari GDP Korea. Jumlah orang yang diharapkan untuk terlibat
dalam industri budaya di Korea ini berkembang pesat dan diperkirakan akan
mencapai 200.000 orang pada tahun 2008, pada saat yang bersamaan diharapkan
nilai barang yang diekspor budaya akan mencapai satu miliar dolar AS. Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata, Lee Chang-dong, menyatakan bahwa Korea harus
terlebih dahulu membangun infrastruktur budaya yang lebih kuat untuk
mendapatkan bagian yang lebih besar dari $ 1,4 Triliun di industri budaya
global. Federasi Industri Korea juga menekankan perlunya bagi para pengusaha
untuk terlibat dalam proyek bisnis kebudayaan tersebut.
Bahkan Norimitsu Onishi, seorang koresponden
New York Times melaporkan bahwa sekitar 80 persen dari wisatawan Taiwan ke
Korea Selatan memilih televisi bertema wisata, mengunjungi tempat-tempat di
mana drama favorit mereka difilmkan (New York Times, 28 Juni 2005).
Pada tanggal 9 Mei 2012 langkah bijak dilakukan
pemerintah Korsel dalam memperbaiki sistem industri hiburan dalam negerinya dengan
keturutsertaan pemerintah melalui Kementrian budaya, Olahraga dan Pariwisata
Korea Selatan dalam kasus agensi entertainment palsu yang muncul, menipu para
pemuda/i yang bermaksud mewujudkan mimpi mereka. Kementrian akan bekerja sama
dengan Asosiasi Managemen Entertainment Korea untuk membuat sebuah databse yang
berisikan informasi dasar agensi-agensi seperti jumlah staf dan public figure
yang mereka kelola. Agensi-agensi harus memasukkan bukti yang membuktikan bahwa
mereka memiliki aset yang cocok untuk menjalankan bisnis ini bersama dengan
sebuah gedung kantor yang didaftarkan atas nama mereka.
Berdasarkan Laporan penelitian dari Samsung
Economic Research Institute (2005) mengenai dampak ekonomi dari Korean Wave
yang berjudul "The Korean Wave Sweeps the Globe," mengklasifikasikan
laporan negara-negara yang mengimpor budaya pop Korea menjadi empat tahap,
dalam hal pola mereka mengkonsumsi produk budaya Korea. Tahap pertama adalah
hanya menikmati budaya pop Korea, dan ini diterapkan di Mesir, Meksiko dan
Rusia. Tahap kedua melibatkan membeli produk-produk terkait yang berkaitan
dengan K-Pop dan K-Drama seperti poster, items-character, dan wisata yang pada
umumnya terjadi di Jepang, Taiwan, dan Hong Kong. Tahap ketiga adalah tahap
konsumsi segala produk "Made in Korea" yakni China dan Vietnam. Tahap
akhir mencerminkan perkembangan preferensi umum untuk budaya Korea itu sendiri.
Menurut laporan itu, tidak ada negara-negara yang termasuk dalam kategori ini.
Laporan ini mendesak pengembangan tinggi "konten" kualitas dengan
lebih memperhatikan "strategi pemasaran," seperti "pengembangan konten."
Bisa kita bayangkan Jika Korean Wave terus
melonjak maka akan mencerminkan hubungan diplomatik yang mendukung logika
kapitalis daripada penguatan kekuatan komunikatif masyarakat sipil untuk
memberikan kemungkinan diversifikasi selera budaya massa. Hal ini tentu saja
menjadi sebuah perlawanan keras terhadap etnosentrisme China dan nasionalisme
Jepang yang selalu menjadi poros terdepan kemajuan Asia Timur. Saat ini, sulit
untuk menggambarkan kritik keras terhadap Korean Wave, yang digembar-gemborkan
sebagai “The Beat of Victory”. Korean
Wave bukan hanya sebuah fenomena domestik saja namun telah menjadi the phenomenon of capitalism’s rise in Asia
yang mengancam industri negara-negara tetangganya seperti China dan Jepang.
Korean
Wave and Korean War.
Jika berbicara lebih lanjut mengenai Korea
secara historis, maka kita akan dihadapkan pada suatu proses romantisme menarik
yang saat ini masih menjadi sengketa dan problematika Internasional yakni Korean War. Perang fisik di teluk Korea
berlangsung cukup lama sejak dari 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953, yang hingga
kini sengketa kedua negara masih berlanjut namun belum mengarah pada
pertempuran fisik lagi. Jika dijelaskan tentang periode perang yang berlansung
akan membutuhkan banyak abjad untuk bercerita baik itu mengenai pertempuran
Incheon, Proxy War, Pertempuran Chosin, dan seterusnya. Kita hanya menarik satu
sudut pandang menarik yang coba dijabarkan mengenai korelasi antara Korean War dan Korean Wave. Akan ada
beberapa penjabaran yang cukup menarik tentang sebuah implikasi perkembangan Korean Wave terhadap Korean War.
1. Global
mass is a great weapon
Korean Wave sebagai sebuah proses yang lahir
dari konsep diplomasi kebudayaan tidak hanya mendatangkan banyak materi. Korean
Wave menjadi sebuah pertunjukkan teatrikal menarik saat di panggung dunia,
industrialisasi kebudayaan yang berujung pada konsep kapitalisme budaya
menjadikannya sebagai global mass
consumption. Masyarakat dunia akan lebih memfokuskan diri pada perkembangan
K-Pop. Bagaimana tidak, tokoh atau artis yang mengidolakan seakan telah
menjadikan mereka budak ketika di hadapkan pada pusara industri hiburan.
Simpati dan kepedulian berdatangan secara massal saat fanatisme menjadi sebuah
dogma yang menggerakkan pola kehidupan masyarakat global. Tidak dipungkiri
bahwa fanatisme yang cenderung hiperbolik inilah yang nantinya menjadi kekuatan
terbesar Korea Selatan menghadapi kemungkinan yang terjadi dengan Korea Utara. Aliansi
massa global yang terbentuk atas dasar fanatisme yang sama menjadi kekuatan terbesar.
Jika saja Perang Korea kembali terjadi, maka akan terjadi gejolak di beberapa
negara yang masyarakatnya kebanyakan sangat mengidolakan artis-artis Korsel.
Adanya wajib militer yang diharuskan pemerintah Korsel terhadap laki-laki
mewajibkan setiap orang termasuk artis dalam pertempuran yang terjadi nanti.
Demonstrasi bisa saja terjadi di beberapa negara yang dilakukan oleh para fans.
Kekuatan massa tentu saja bisa mengubah kebijakan negara hingga bahkan
mengeluarkan keputusan untuk membantu Korsel dalam perang. Bisa dikatakan
kekuatan para fans budaya Korea Selatan menjadi aset penting dalam proses
pengambilan arah kebijakan suatu negara. Jika sudah pada titik fanatisme yang
sangat tinggi, simpati bergerak sangat cepat, mereka tidak ingin kehilangan sebuah
genre hiburan yang membuat mereka lebih baik dan nyaman.
2. The
Circle of Capitalism, merebut
simpati Cina.
Lingkaran kapitalisme akan selalu terjaga
sebagai sebuah keutuhan untuk bisa saling menguntungkan. Jika ada satu bagian
yang hilang, maka lingkaran itu akan berubah dan berdampak buruk bagi yang
lainnya. Korea Selatan yang telah menjadi negara demokrasi telah melangsungkan
aktivitas kapitalisme besar dalam hal kebudayaan, teknologi maupun otomotif. Kita
melihat negarqa-negara yang menitikberatkan pada kapitalisme pasar seperti
Cina, Jepang dan Amerika Serikat tentu saja tidak ingin kehilangan kesempatan
dalam memperoleh keuntungan. Cina yang secara ideologi lebih condong kepada
Komunis yang juga dianut oleh Korea Utara masih mempertahankan sistem nilai
tersebut dalam proses bermasyarakat, namun di sisi lain Cina pun mengamini
kapitalisme dan liberalisme pasar menjadi jalan terbaik untuk menjaga
stabilitas ekonomi dalam negeri. Orang akan berpikir bahwa kepentingan China di
Korea Utara cukup besar, namun kita tidak bisa mengabaikan seberapa kuatnya
hubungan China dengan Korea Selatan. Korean
Wave memang telah tersebar di hampir seluruh kawasan Asia namun kesuksesan
terbesarnya ada di negara Cina. Cina dianggap sebagai negara paling sukses
untuk proses persebaran Korean Wave. Menurut sebuah artikel di media massa
Korea menyebutkan bahwa Orang Cina merasa lebih dekat budaya Korea berkat
budaya pop korea gaya K-Pop nya, meskipun
jika mereka belum pernah ke negara. Selain itu, artikel lain mengatakan bahwa Republik
Korea (ROK) dan Cina telah mempererat hubungan kerjasama mereka di bidang
politik, ekonomi, budaya dan pendidikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut
statistik resmi yang dipublikasikan ROK pada akhir tahun lalu, Cina menjadi peringkat
nomor satu dalam perdagangan tahunan negeri Korea. ROK juga menjadi mitra dagang
eksklusif terbesar ketiga China. Kerjasama politik dan ekonomi telah
menyebabkan pertukaran warga dan lalu lintas wisata antara kedua negara.
Perkembangan Korean Wave di Cina meerupakan pertanda akan masa depan yang cerah
bagi hubungan bilateral Cina dan Korea. Karena permintaan yang luar biasa dari
budaya pop Korea di Cina, Korea berhasil memasuki pangsa pasar yang besar.
Cina yang dianggap sebagai tameng terkuat bagi
Korea Utara belum menjamin adanya bantuan untuk Korut jika perang berlangsung. Negara
sebagai Rational Actor akan cenderung
berhati-hati dalam mengambil keputusan. Rational
choice menjadi sebuah pertimbangan dan mungkin saja akan mengubah segala
kemungkinan yang seharusnya terjadi.
Pustaka:
http://mediaindonesia.com/webtorial/tanahair/?bar_id=MzA2Nzkx
http://dwialatief.blogspot.com/2012/03/hallyu-korea-sebagai-diplomasi.html
http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/08/diplomasi-budaya-dalam-menciptakan-perdamaian-dunia/
http://kpopfreak.com/2012/10/news/pemerintah-korea-ikut-campur-tangan-untuk-mencegah-para-agensi-entertainment-dalam-menipu-para-trainee-nya
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2184313-pengertian-transendensi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Korea#Akhir_perang
Joseph Nye, 2005, Soft Power: the Means to
Success in World Politics cetak indonesia, United States : PublicAffairs
Tulus warsito dan Wahyuni Kartikasari, 2007,
Diplomasi Kebudayaan Konsep dan Relevansi Bagi Negara Berkembang; Sudi Kasus
Indonesia, Yogyakarta: Ombak
Cho Hae Jong, Reading the “Korean Wave” as a
Sign of Global Shift
Sue Jin Lee, The Korean Wave: The Seoul of Asia
0 komentar:
Posting Komentar